Sabtu, 16 Januari 2016

Presiden Yang Terlupakan

Sjafruddin Prawiranegara seorang yang lahir di Banten, 28 Februari 1911 mungkin terdengar asing untuk sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal, jasanya bagi bangsa begitu besar, seseorang yang layak mendapatkan julukan “Sang Penyelamat Republik.” Sjafruddin Prawiranegara adalah presiden yang terlupakan oleh sejarah.
  
Hari itu 19 desember 1948, salah satu hari yang buruk bersejarah bagi Republik Indonesia. Hari itu adalah hari dimana belanda kembali menyerang Republik Indonesia untuk yang kedua kalinya atau peristiwa tersebut lebih dikenal dengan Agresi Militer II. Pada pagi hari itu Belanda telah menyerang kota Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia pada saat itu. Dan hari itu Belanda berhasil menangkap dan mengasingkan Soekarno dan Hatta, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada saat itu. Belanda membawa sang Proklamator pulau Bangka.

Karena penangkapan tersebut menyebabkan Republik Indonesia sempat tidak punya pemimpin negara. Namun Sjafruddin Prawiranegara segera mendapatkan mandat melalui telegram dari Soekarno dan Hatta yang berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”

Namun karena sulitnya komunikasi pada saat itu, telegram tersebut tidak sampai ketangan Sjafruddin Prawiranegara. Beruntung, disaat tersebut beliau dapat mendengar tentang serangan yang terjadi di Yogyakarta dan Belanda telah menangkap pemimpin negara. Mengetahui kondisi yang terjadi Sjafruddin Prawiranegara tidak tinggal diam, maka beliaupun berinisiatif untuk mengadakan rapat untuk membuat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Rapat tersebut dilakukan di kota Bukittinggi, Sumatra Barat.

Pada saat pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia, dibentuklah kabinet sementara yang berisikan beberapa orang menteri. Pemerintah Darurat Republik Indonesia diketuai oleh Sjafruddin Prawiranegara sendiri, dan dari rapat tersebut dipilihlah kota Bukittinggi, Sumatra Barat sebagai ibukota dari Republik Indonesia untuk sementara waktu. Meskipun jabatan yang disandangnya pada saat itu adalah ketua dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia, namun dengan kata lain jabatannya sama dengan presiden.

Sebenarnya kita harus mengakui hal itu karena beliau adalah pemimpin negara pada saat itu. Karena bila kita tidak mengakui hal tersebut itu artinya kita mengakui bahwa Republik Indonesia sempat hilang untuk sementara waktu dimulai dari penangkapan Soekarno dan Hatta pada saat Agresi Militer II sampai dengan Sjafruddin Prawiranegara berhasil berunding untuk membuat perjanjian Roem Royen.

Perjanjian Roem Royen adalah perjanjian yang antara Republik Indonesia dengan Belanda untuk menegaskan kembali tentang kedaulatan Republik Indonesia. Pasca perjanjian Roem Royen, Soekarno dan Hatta dipulangkan ke Yogyakarta dan ibukota kembali ke Yogyakarta. Dan pada tanggal 14 juli 1949 serah terima jabatan antara Sjafruddin Prawiranegara dengan Soekarno dilakukan di Jakarta. Hal tersebut juga menandai berakhirlah masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia.

Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Syafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar